INFO SEPUTAR BOLA
Apa yang Anda lakukan jika berusaha bikin kagum pacar, tapi modal cekak? Pasang tampang pede, jangan gugup. Kalau perlu, siapkan rencana B --tapi jangan bilang siapa-siapa.
Misalkan pacar Anda meminta untuk ditraktir ke restoran mahal --dan Anda sedang tidak bisa menolaknya--, bisa saja Anda tetap mengajaknya ke restoran tersebut sembari diam-diam menelepon teman minta pinjaman uang. Gagal juga? Mungkin bisa pakai cara om-om atau orang tua kita zaman dulu: Bicara baik-baik kepada kasir dan titip KTP (note: yang saya tidak jamin bakal 100% berhasil sekarang ini).
Tentu, yang seperti ini tidak bisa dilakukan sembarang orang. Dibutuhkan lebih dari sekadar ketenangan, tetapi juga muka tebal dan sense untuk bersikap licik yang tidak berbatas... Yah, mungkin mungkin bukan "licik" juga, tetapi saya sulit untuk menemukan padanan yang pas untuk "akal-akalan" semacam ini.
Entah bagaimana, tiap kali memikirkan hal-hal terkait "akal-akalan" semacam ini, saya selalu teringat orang Italia. Kebetulan juga, di Italia sana ada istilah untuk situasi macam ini. Istilah tersebut adalah "Furbizia".
Furbizia bisa diartikan sebagai "mengeksploitasi sebuah kondisi untuk mencapai tujuan Anda". Furbizia adalah kemampuan atau seni orang-orang Italia untuk "mencurangi" suatu kondisi demi meraih suatu hasil yang diinginkan. Namun, ini tidak melulu berkonotasi negatif. Dalam situasi tertentu, ini adalah sebentuk kecerdasan dalam mencari solusi di tengah situasi yang tidak menguntungkan.
Misalnya, dalam salah satu kisah soal Catenaccio --sistem pertahanan gerendel yang lahir di Italia itu. Di Italia sana, Giuseppe 'Gipo' Viani-lah pertama kali memperkenalkan posisi libero. Viani mendapatkan ilham untuk menciptakan posisi tersebut ketika melihat seorang nelayan menggunakan jala rangkap untuk menangkap ikan. Kala itu, Viani sedang pusing memikirkan cara untuk memperkokoh pertahanan timnya.
Viani memperhatikan bahwa jika ada ikan yang lepas dari jala pertama, ia masih akan terperangkap di jala kedua. Dari sanalah ia mendapatkan ide untuk menaruh satu pemain lagi di belakang garis pertahanan. Si pemain itu, yang dikenal sebagai libero, bertugas untuk menjadi penyapu jika ada bola atau pemain lawan lolos.
Tentu, taktik Viani tidak hanya soal mengandalkan si libero itu saja. Dalam buku "Winning at All Cost: A Scandalous History of Italian Soccer" yang ditulis oleh John Foot, disebutkan juga bahwa Viani meminta salah seorang pemain depan timnya untuk melakukan tracking back dan menjaga ketat "pemain nomor 9" lawan. Dengan demikian, si libero tadi terbebas dari tugas untuk mengawal satu orang pemain lawan.
Taktik Viani ini dianggap sebagai genesis (asal mula) dari Catenaccio. Taktik itu lahir dari kepusingannya melewati malam-malam tanpa tidur, sampai akhirnya terdampar di sisi pelabuhan Salerno, dan di sanalah ia melihat nelayan itu menggunakan jaring rangkap. Taktik tersebut diterapkan Viani ketika menangani Salernitana pada tahun 1946-1948 dan mengundang banyak komentar. Secara khusus, taktik Salernitana ketika itu disebut dengan Vianema.
Salernitana-nya Viani memang relatif kurang sukses, tapi ini menunjukkan bagaimana dalam darah Italia mengalir keinginan untuk menetapkan kemenangan di atas apa pun. Tidak percaya? Simak bagaimana komentar Andrea Pirlo kepada La Gazzetta dello Sport ketika ditanyai perihal permainan timnas Italia saat ini dan timnas Spanyol saat ini:
"Tidak ada yang mengendalikan permainan sebaik Spanyol. Tapi, semuanya kembali lagi ke pemahaman masing-masing mengenai sepakbola. Apakah lebih baik memiliki skuat yang solid atau skuat yang bisa memberikan permainan menghibur?"
"Yang terbaik tentu saja menjadi skuat yang menang dan menang adalah segalanya, bahkan di level klub sekalipun."
Ya, Pirlo, si metronom, si anggur yang kian tua kian elegan itu, salah satu model dan ikon dari permainan indah itu, mengakui dengan terang-terangan bahwa di atas permainan yang menghibur, kemenangan adalah segala-galanya.
Maka, jangan heran jika Johan Cruyff, maestro termasyhur Total Football dan permainan indah, sampai melontarkan ucapan bernada jenaka sekaligus getir: "Italia tidak akan pernah bisa mengalahkan kita, tapi kita bisa dibuat tertunduk oleh mereka."
Dahulu, ketika ia pergi meninggalkan Juventus, Antonio Conte membuat banyak orang bertanya-tanya. Mengapa ia pergi meninggalkan The Old Lady, padahal ketika itu klubnya sedang bagus-bagusnya. Di Italia, Juventus sedang tidak punya lawan.
Dugaan yang beredar, Conte tidak puas dengan cara para petinggi Juventus dalam menangani transfer pemain. Bukan rahasia apabila Conte berambisi untuk membawa Juventus berbicara lebih banyak di Liga Champions. Namun, ia merasa skuatnya tidak cukup kompetitif untuk bersaing di sana. Inilah yang kemudian membuatnya menganalogikan perjalanan Bianconeri di Liga Champions sebagai "masuk restoran 100 euro dengan bekal 10 euro".
Secara tidak langsung, ucapan tersebut menyiratkan bahwa Conte adalah orang yang saklek. Teman saya, seorang pendukung Juventus yang taat, pernah mengatakan bahwa Conte akan tetap memaksakan timnya bermain possession football di lapangan becek sekalipun. Ini tidak mengherankan, sebab Juventus-nya Conte ketika itu memang hanya kenal menyerang, menyerang, dan menyerang.
Sampai kemudian Conte ditunjuk menangani Italia dan membawa Gli Azzurri berlaga di Piala Eropa 2016. Conte dihadapkan pada situasi berbeda dengan Juventus-nya dulu. Tim Italia-nya sekarang tidaklah semewah Juventus-nya dahulu. Ia harus mencari cara agar bisa meraih kemenangan.
Dugaan bahwa Conte adalah sosok yang saklek itu akhirnya mentah. Terbukti, ia tidak hanya mengenal satu cara untuk mendapatkan kemenangan. Ketika Italia menang 2-0 atas Belgia, Conte menunjukkan bahwa punya sederet pemain bintang bukan jaminan untuk menang. Para pemain Belgia dibuat Italia-nya betul-betul mati kutu.
Ada satu momen di mana pertahanan Italia lengah pada pertandingan tersebut. Kelengahan itu membuat Belgia sukses melepaskan satu tembakan --yang kemudian melenceng dari sasaran. Kendati pun peluang Belgia itu gagal, Conte tetap gusar. Di pinggir lapangan, ia berteriak dengan lantang: "Vi Ammazzo! Vi Ammazzo! (I will kill you! I will kill you!)"
Dari situ pahamlah saya bahwa sikap saklek Conte bukanlah pada satu gaya (permainan) tertentu, melainkan pada taktik yang sudah disepakati bersama antara dia dan para pemain-pemainnya.
Apa yang dilakukan Conte pada laga melawan Belgia itu kebetulan mirip dengan Salernitana-nya Viani. Conte meminta pemain-pemain depannya untuk rajin melakukan pressing terhadap lawan sembari menjaga kedalaman pertahanan timnya. Ini adalah kemenangan taktikal sekaligus kemenangan cara berpikir Italia ketika mereka sedang kepepet.
Pada pertandingan yang sama juga, Furbizia ala Italia keluar dalam bentuk terburuknya ketika salah seorang pemain mereka sengaja menarik baju pemain Belgia untuk menghentikan serangan. Anda boleh tidak suka dengan cara ini, tapi memang begitulah kultur mereka.
Kini, Conte akhirnya juga bisa merasakan masuk ke dalam restoran 100 euro dengan hanya berbekal dompet tipis berisi 10 euro. Semoga saja ia tidak perlu sampai titip KTP ketika keluar dari restoran tersebut
Baca Juga
0 komentar:
Posting Komentar